Minggu, 15 Januari 2012

BERDIRINYA MASJID KIRINGAN















Sampai sekarang belum ditemukan literature atau bukti tentang berdirinya Masjid JAMI’ Kiringan, hanya cerita dari tutur tinular yang diperoleh oleh penulis.

Menurut riwayat Masjid Kiringan didirikan oleh Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq, sebagai pusat penyebaran Islam di daerah Tayu dan sekitarnya. Mengenai tahun berdirinya sampai sekarang belum diketemukan bukti-bukti otentiknya. Namun dahulu masjid Kiringan pernah mengalami pemugaran, yang pertama di Jaman Lurah Ayahnya Mbah Wiryo Wiyoto tahun 1925 M.

Berdirinya Masjid Kiringan sendiri konon disertai datangnya angin kencang dan tidak diketahui asal usulnya. Dan tembok Masjid Kiringan terbuat dari batu bata dengan ukuran 40 X 25 cm dengan ketebalan sekitar 10 Cm. Bukti batu bata untuk pembuatan Masjid Kiringan sampai sekarang masih tersimpan beberapa biji dan bisa dilihat di Kiringan.
Saat ini Masjid Kiringan sudah dipugar lagi dan bentuknya lebih modern, tetapi tidak mengurangi keaslian nya.

SYECH ABDULLAH ASYIQ IBNU ABDUL SYAKUR

Dalam berbagai tulisan termasuk jejak Walilullah di Pati nama Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan memang tidak ada yang menyinggungnya, bahkan dalam Web Kab Pati atau Dinas Pariwisata Pemprov Jateng, Nama Ki Ageng Kiringan tidak dimasukkan dalam obyek wisata religi di Kabupaten Pati. Padahal Ki Ageng Kiringan cukup dikenal di daerah Tayu dan jasanya sangat besar dalam menyebarkan Islam.


Menurut cerita tutur tinular, Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan adalah putra dari Abdul Syakur adalah murid sunan Muria yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam di daerah Tayu dan sekitarnya. Ki Ageng Kiringan mempunyai seorang isteri bernama Dewi Limaran dan mempunyai seorang putri bernama Sumiyem, yang lebih di kenal dengan Nyi Branjung. Ki Ageng dan Nyai Ageng sudah lama tidak di anugerahi putra laki-laki, maka Ki Ageng dan Nyai Ageng Kiringan pergi menghadap gurunya Sunan Muria (Raden Umar Said), untuk menyampaikan keinginannya agar dianugerahi seorang Putra laki-laki. Kanjeng Sunan Muria memberikan nasehat kepada Ki Ageng dan Nyai Ageng agar bersabar, dan memohon kepada Allah SWT agar diberi putra laki-laki.


Setelah diberikan nasehat dan petunjuk oleh Sunan Muria, Ki Ageng dan Nyai Ageng pamit kembali ke Kiringan, malam nya Nyai Ageng bermimpi ditemui seorang laki-laki yang gagah dan sudah beruban. Lalu Nyai Ageng menceritakan mimpinya kepada Ki Ageng dan mendiskusikan mimpinya semalam. Selang beberapa hari Nyai Ageng Kiringan mengandung, tentu saja disambut bahagia oleh keduanya yang memang mendambakan seorang anak laki-laki. Setelah sekian lama mengandung, Nyai Ageng melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama SARIDIN, yang berasal dari kata Syah dan Ridho, yang artinya mendapat Ridlo Allah SWT.

Memang cerita Saridin atau Syech Jangkung ini ada beberapa versi, salah satunya Saridin adalah putra Sunan Muria yang dilarung ke sungai dan diangkat oleh Ki Ageng Kiringan, masalah kebenarannya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan sendiri makamnya di Dukuh Kiringan-Punden Rejo-Tayu, atau 30 Km dari Kota Pati arah jalan Tayu Jepara.Makam Ki Ageng Kiringan sangat ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah, khususnya pada malam Jum’at. Khol dilaksanakan setiap tanggal 7 sd 9 bulan besar, biasanya ribuan peziarah datang berduyun-duyun ke Makam Ki Ageng Kiringan.

BEDHUK BUNYI SENDIRI


Konon dari cerita turun temurun, bedhuk Kiringan bunyi sendiri bila terjadi musibah sungai Kiringan terjadi banjir bandang. Bunyi bedhuk Kiringan ini tidak hanya terdengan di sekitar dukuh Kiringan saja, tetapi juga sampai ke desa-desa disekitarnya. Masyarakat sendiri sampai sekarang mempercayai hal itu. Di dalam bedhuk Kiringan sendiri terdapat sebuah piring kecil, namun sekarang kondisinya sudah pecah dan masyarakat sendiri tidak merawatnya. Disamping keajaiban Bedhuk Kiringan, di masjid Kiringan juga terdapat sumur tua, dan sampai sekarang masih di jaga baik oleh juru kunci makam dan juru kunci masjid. Konon sumur tersebut dahulu air nya digunakan orang untuk melakukan sumpah, tetapi oleh juru kunci Makam waktu itu KH IRSYAD (almarhum), tidak diperkenankan lagi orang melakukan sumpah di Makam Ki Ageng Kiringan.

BEBERAPA PERISTIWA PENTING

Orang yang pertama kali menjadi juru kunci makam Gosari adalah bernama RAU. Pada sekitar tahun 1901 penduduk desa Jembul mengadakan kerja bhakti untuk mengganti cungkup makam yang sudah rusak. Ada salah satu diantara penduduk yang hendak membakar sampah bekas atap atap daun rumbia. Tidak disangka sangka api menjalar sampai ke cungkup yang mengakibatkan kebakaran tidak bisa dihindari.

Semua terlalap api dan hanya pintunya saja yang tidak terbakar, disaksikan oleh warga, pintu yang sedianya akan roboh karena tidak punya penyangga lagi tiba-tiba terbang terbawa angin, menuju kea rah timur dan jatuh kurang lebih 2 Km di sebelah timur makam. Maka dukuh tersebut dinamakan Ng Lawang yang berarti pintu.

Menurut cerita pintu tersebut kemudian terbang lagi menuju arah timur dan jatuhnya tepat pada gerbang masuk makam Sunan Bonang yang berada di Lasem-Rembang. Oleh sebagian para ahli sejarah , pintu yang berada pada makam Sunan Bonang pada mulanya adalah pintu yang berada di makam Waliyullah Syech Abdul Rozak.

Pada tahun 1990 makam Gosari mengalami pemugaran lagi dengan swadaya masyarakat dan uang dari kas amal.

Setelah pembangunannya berjalan ternyata tanpa terpikir dana yang dikeluarkan habis, sehingga pembangunan makam terpaksa dihentikan dan untuk nisan terpaksan ditiadakan.

Akan tetapi pagi harinya,ketika para tukang batu hendak mengemasi peralatannya untuk pulang, tiba2 sudah ada dua buah nisan terbungkus kain kafan dalam keadaan masih baru, sehingga masyarakat yg ikut kerja disitu banyak yang mempertanyakan, dari mana asal benda tersebut dan siapa yang menaruhnya dalam waktu yang relative singkat sudah ada disitu?? Wallahu A’lam

Sumber :Syech Abdul Rozak dan Babad Jembul Wunut


MURID KI AGENG KIRINGAN

SYECH ABDUL ROZAK (MBAH ROZAK JEMBUL)

Mbah Dul Rozak,demikian masyarakat di desa Jembul Wunut dan Ngablak sering menyebutnya, nama aslinya Abdul Rozak Muhammad Abdullah, beliau berasal dari Bejagung Tuban Jawa Timur, yang konon masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Khasan atau Raden Patah.Dari daerah asalnya beliau hendak menuju Demak , sesampai di wilayah Kemaguhan sekarang Kropak beliau singgah dan menetap di Kropak hampir sepertiga dari hidupnya.

Sebenarnya beliau berkeinginan untuk berguru kepada Saridin atau Syech Jangkung, tapi oleh Syech Jangkung disarankan untuk berguru kepada ayahnya yaitu Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan.

Setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya Abdul Rozak menemukan padepokan Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq di Dusun Kiringan-Punden Rejo.Namun Rozak tidak langsung diterima sebagai murid, untuk sementara diterima sebagai abdi membantu pekerjaan sehai-hari. Meskipun sebagai abdi, Rozak menerima pekerjaan tersebut dengan ikhlas, sehingga akhirnya Rozak diterima sebagai murid Ki Ageng Kiringan.

Suatu ketika Ki Ageng Kiringan memerintahkan Rozak untuk membuat sumur, walaupun saat itu musim kemarau, pada tengah malam beliau berdo’a agar apa yang dikerjakan mendapat ridlo Allah SWT. Pada malam itu juga beliau keluar rumah serta memanjatkan do’a sekaligus menghentakkan kaki tiga kali.

Bersamaan itu juga sudah menjadi lubang sumur, akan tetapi belum keluar sumber airnya., sampai pagi harinya Ki Ageng Kiringan menemukan Rozak duduk bersila disamping sumur buatannya, sambil tetap berdo’a kepada Allah SWT.

Tiba2 beliau mengambil keranjang yang ada dirumah gurunya, untuk mengambil air dengan keranjang tersebut ke sungai. Keranjang tsb seperti timba saja, air yg diambil Rozak dari sungai dimasukkan ke sumur, yang akhirnya muncul sumber air di sumur tersebut.

Ada kemungkinan sumur yang dibuat oleh Mbah Rozak adalah sumur yang saat ini ada di dalam masjid Kiringan, yang airnya tidak pernah kering meskipun musim kemarau panjang.

Berkat ketekunannya, Ki Ageng Kiringan menjadikan Abdul Rozak sebagai murid kesayangan dan mengawinkan dengan seorang wanita bernama Ni Tambi, dan Abdul Rozak diberi tanah disebelah barat Kirngan atau yang sekarang disebut dukuh Kesambi.

Namun kebiasaan Abdul Rozak di Kropak tak bisa begitu saja belia tinggalkan. Seni tayub masih menjadi kegemarannya, maka suatu ketika beliau datang ke Desa Giling untuk bergabung disana. Arak pun sempat diminumnya sehingga beliau mabuk sampai esuk harinya masih ada di desa Giling.

Karena beliau tidak bisa berjalan , maka beliau membuat sayembara pada siapa saja yang mampu menggendongnya maka akan diberi hadiah berupa tanah pelintahan yang ada di Ngablak. Dengan hadiah tsb sudah banyak orang yang berusaha menggendong beliau, namun tidak ada satu orangpun yang mampu, sehingga datanglah seorang yang dianggap danyang Giling yang bernama DROMO WONGSO. Ki Danyang ini yang sanggup menggendong Abdul Rozak sampai Ngablak dan berhak atas tanah pelintahan tersebut.

Namun pada suatu ketika Abdul Rozak menderita sakit, sampai tidak terasa sebelah kakinya terluka dan mengeluarkan nanah karena terlalu lama berbaring ditempat tidur tidak bisa jalan.

Setelah beliau dapat berjalan berganti penyakit yang dideritanya, yang semua keluar nanah kemudian menjadi borok yang semakin parah,sampai2 beliau mengeluarkan ultimatum “ Bagi siapa saja yang masih keturunan Ngablak, akan terlaknat bila minum arak”

Pernah diceritakan setelah Rozak mengeluarkan ultimatum, ada seseorang yang kebetulan melewati Ngablak hendak menjual arak, sesampai diwilayah Abdul Rozak, maka botol2 arak tersebut meledak semua.

Pada suatu saat Rozak akan membersihkan borok pada kakinya di sungai, namun aliran sungai tersebut mengalir di hilir yang biasa dipakai untuk berwudlu Ki Ageng Kiringan. Karena menimbulkan bau yg kurang sedap pada air yang mengalir, maka Ki Ageng Kiringan menyarankan agar Abdul Rozak membersihkan boroknya di dekat pohon Bendo yang katon (kelihatan), dan kelak dinamakan desa Bendokaton. Namun sungainya masih satu arah melewati Bangkol,Kiringan serta Tayu. Sehingga sangat menggangu aktivitas Ki Ageng Kiringan beserta murid-muridnya. Maka diutuslah salah satu murid untuk menemui Abdul Rozak agar Rozak mencuci boroknya di selatan des Ngablak, yakni Jembul yang waktu itu masih termasuk wilayah Ngablak.

Akhirnya dengan susah payah Abdul Rozak menuju Jembul dengan bantuan isterinya. Dan beliau berhenti di sebuah sungai kecil atau Kalen (bhs Jawa) untuk membersihkan boroknya yang yg sudah mulai berdarah. Namun anehnya bau air yang dipakai untuk membersihakan borok tersebut baunya menjadi harus/wangi , maka oleh Abdul Rozak dinamakan “Kalen Kembang”.

Sakit yang diderita Abdul Rozak rupanya dibawa sampai beliau wafat, pada hari Ahad Wage bulan Dzul Qoidah beliau kembali pulang keharibaan Allah SWT untuk selamanya

Oleh karenanya bagi penduduk Jembul bila terserang borok pada kakinya besar kemungkinan ajalnya dekat . Hal ini kemungkinan bila si penderita mengindap diabetes, atau sering disebut borok RITI. Marine yen Mati atau sembuhnya kalau sudah meninggal.

Tidak berselang lama Ni Tambi menyusul sang suami pulang ke Rahmatullah , keduanya dimakamkan di GOSARI secara berdampingan. Sampai sekarang banyak para peziarah dari luar daerah yang datang untuk bertawasul dimakam Mbah Rozak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar